Kehamilan itu Menular, Ternyata Bukan Cuma Mitos
June 25, 2019
Edit
Banyak perempuan yang sudah menikah kemudian mengeluhkan
nasibnya yang belum juga diberi momongan. Padahal sudah bertahun-tahun menjalin
rumah tangga. Soal mendapatkan momongan memang jadi dambaan setiap pasangan
yang sudah menikah ya Bun. Tapi percayakah Bunda kalau ternyata kehamilan itu
bisa menular? Bahkan di luar sana ada lho perempuan yang meminta jempol kakinya
diinjak oleh sahabatnya yang sedang hamil lantaran meyakini kehamilan itu bisa
ditularkan.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim dari Bocconi
University, Italia berusaha melihat efek pertemanan pada perilaku kesuburan
seseorang dan transisi saat menjadi orangtua. Penelitian ini melibatkan 1,720
perempuan.
Mereka melakukan survei sejak para partisipanmasih di bangku
sekolah menengah pada tahun 1990-2009. Ketika para wanita tersebut sudah
menginjak usia 26-33 tahun, mereka diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
seputar kehidupan mereka, termasuk soal pertemanan.
Dari 820 wanita yang menjadi orangtua, rata-rata mereka
melahirkan anak pertama di atas 27 tahun dan lebih dari separuhnya menyatakan
bahwa kehamilan mereka tak direncanakan. Para ahli menyimpulkan bahwa mereka
yang merencanakan kehamilannya dipicu oleh teman-teman ternyata sudah memiliki
anak.
Jadi, bila Bunda memiliki teman SMA yang sudah memiliki
anak, maka akan lebih mungkin “tertular”, dalam arti, lebih termotivasi untuk
hamil. Seorang peneliti yang terlibat dalam penelitian tersebut mengatakan,
penularan kehamilan yang dimaksud bukan terjadi melalui kontak fisik, namun melalui
kontak emosional
Efek Kontak Emosional Yang Bekerja
Jadi Bun, ketika seorang perempuan melihat teman sebayanya
hamil dan melahirkan, maka pikiran positifnya juga akan mempengaruhi
keinginannya untuk memiliki keturunan juga. Mungkin Bunda masih bertanya-tanya,
kenapa peranan teman begitu penting dalam memengaruhi keputusan untuk memiliki
keturunan?
Begini Bun, pengalaman melahirkan seorang teman merupakan
sumber pembelajaran yang penting lantaran akan memberikan informasi yang
relevan dan berguna mengenai bagaimana menhadapi transisi menjadi orangtua. Di
lain sisi, kita cenderung menyamakan diri atau bahkan membandingkan dengan
teman sebaya dengan berpikir: “Wah, di umurnya yang sekarang, dia sudah punya
momongan, sementara saya belum.” Bila hal ini dijadikan motivasi yang positif,
lambat laun keinginan untuk memiliki anak akan terasa begitu kuat.
Disadari atau tidak, rencana memiliki anak memang seharusnya
menjadi keputusan yang sangat pribadi, nyatanya bisa dipengaruhi oleh
lingkungan pertemanan, terutama teman SMA yang masih sebaya dan akrab. Inilah
sebabnya, cukup lazim bagi sekelompok perempuan yang bersahabat untuk hamil
dalam waktu yang berdekatan, karena masing-masing saling menginspirasi dan
memotivasi. Namun perlu dipahami bahwa hasil penelitian ini bukan menjadi
patokan bagi perempuan untuk bisa hamil dan memiliki anak, beberapa faktor lain
baik yang bisa dijelaskan maupun yang sifatnya misteri, juga perlu dijadikan
evaluasi ya Bun.
Yang Lebih Penting, Jangan Sampai Perempuan Ingin Hamil Hanya
Karena Melihat Temannya Hamil
Bun, jangan memutuskan memiliki anak hanya karena melihat
teman yang sudah menjadi orangtua ya. Ingat, menjadi orang tua itu merupakan
tanggung jawab yang berat dan tidak bisa dilakukan hanya demi memenuhi tuntutan
sosial. Jika Bunda ingin memiliki momongan, pastikan Bunda dan pasangan sudah
siap. Salah satunya dalam hal kesiapan emosional.
Berikut tanda Bunda sudah siap secara emosional :
Sudah siap waktu
Bunda terbagi. Ketika memiliki momongan, bisa dibilang waktu Bunda adalah milik
si kecil.
Senang dengan anak kecil. Saat ada anak kecil Anda langsung
gembira dan ingin mengajaknya bermain.
Tidak begitu
berambisi dalam urusan karier. Apalagi Bunda sudah tidak bisa lagi seenaknya
lembur dan pulang hingga larut malam karena ada makhluk kecil yang membutuhkan
Bunda di rumah.
Rumah tangga Bunda
berjalan harmonis. Tidak perlu pernikahan yang sempurna untuk memiliki anak.
Namun, harmonis berarti rumah tangga Bunda dalam kondisi yang baik. Misalnya,
tidak ada masalah serius dalam rumah tangga seperti perselingkuhan, kekerasan
rumah tangga, masalah komunikasi dengan pasangan, dan masalah pernikahan
lainnya.
Sumber: sayangianak.com